The more you take, the more you leave behind.
Unboxing The Pandora, Wajah Dunia Pasca Pandemi
11 jam lalu
“In the midst of winter, I found there was, within me, an invincible summer.” — Albert Camus
***
Pandemi Covid-19 tak bisa dipungkiri telah menjadi peristiwa global yang melampaui krisis kesehatan. Ia menguji ketahanan institusi, kekompakan sosial, hingga validitas tata kelola internasional. Alih-alih melahirkan solidaritas kolektif yang lebih kuat, krisis ini justru memperlihatkan betapa rapuhnya hubungan antarnegara dalam menghadapi tantangan global yang semestinya mendorong kolaborasi.
Dunia pasca-pandemi tidak bergerak menuju kerja sama yang lebih erat, tetapi justru menunjukkan tendensi fragmentasi yang semakin tajam. Gejala ini terlihat dari melemahnya multilateralisme dan meningkatnya kecenderungan negara-negara untuk saling bersekutu dalam blok-blok geopolitik baru. Ketegangan antara negara-negara besar meningkat, solidaritas antarbangsa kian diuji, dan banyak institusi global kehilangan legitimasi di mata masyarakat dunia. Dunia tampak lebih bersifat kompetitif daripada kooperatif, lebih fokus pada kepentingan nasional daripada pada kepentingan bersama umat manusia.
Ketika pandemi melanda dan kemudian mereda, harapan publik sempat tumbuh bahwa dunia akan belajar dari pengalaman ini untuk membangun sistem global yang lebih adil dan tangguh. Namun realitas menunjukkan sebaliknya. Dalam urusan distribusi vaksin saja, yang terjadi adalah vaccine nationalism, negara-negara kaya berebut pasokan dan mengamankan stoknya sendiri, sementara negara berkembang menunggu giliran dari program solidaritas global yang lambat dan tidak merata. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa bahkan dalam krisis kemanusiaan berskala besar, kepentingan nasional tetap menjadi panglima.
Pandemi juga berdampak langsung pada kondisi ekonomi global. Resesi yang melanda hampir semua negara memperparah ketimpangan sosial dan mendorong kebijakan proteksionis di banyak wilayah. Banyak pemerintah dari banyak negara memilih untuk memfokuskan perhatian ke dalam negeri masing-masing, membatasi ekspor, menahan investasi asing, dan mengedepankan narasi “bangkit secara mandiri.” Dalam konteks ini, nasionalisme ekonomi menguat serta menjadi populis, dan kerja sama internasional menjadi terdorong ke pinggiran.
Lebih jauh lagi, pandemi memberikan ruang bagi kekuatan geopolitik baru untuk memperkuat posisi mereka. Negara-negara seperti Tiongkok, Rusia, hingga India mulai tampil lebih tegas dalam menyusun arsitektur kekuatan alternatif yang menantang dominasi negara-negara Barat. Kebangkitan blok-blok seperti BRICS+ menandai bergesernya dunia menuju konfigurasi multipolar yang belum stabil, dan dalam banyak kasus diwarnai rivalitas tajam. Aliansi lama mulai tergoyahkan, dan peta geopolitik global berubah lebih cepat dari sebelumnya.
Sayangnya, transformasi ini tidak diikuti oleh reformasi lembaga-lembaga multilateral. Organisasi seperti WHO, PBB, dan WTO dinilai terlalu birokratis dan kurang responsif terhadap krisis nyata. Legitimasi mereka menurun seiring meningkatnya kecenderungan negara-negara untuk membentuk aliansi bilateral atau regional yang lebih eksklusif dan pragmatis. Dunia perlahan bergerak dari model keterhubungan global menuju konfigurasi yang lebih tersekat dan tertutup.
Pandemi juga telah membuka luka ideologis dan sosial yang lama tersembunyi. Ketimpangan digital, diskriminasi struktural, serta eksklusi terhadap komunitas marjinal semakin terlihat jelas. Ini semua memperparah krisis kepercayaan terhadap narasi globalisasi, yang selama dua dekade terakhir menjanjikan kemajuan dan konektivitas, namun gagal mengantisipasi ketimpangan dan kerentanan struktural yang justru membesar dalam krisis.
Di tengah semua dinamika ini dan saat kita belum sempat menarik nafas lega panjang, dunia justru dihadapkan pada krisis baru yang tak kalah genting: perang di Ukraina, konflik Timur Tengah, ketegangan di Asia Timur, hingga perlombaan senjata teknologi seperti kecerdasan buatan dan persenjataan digital. Terbaru Thailand dan Kamboja, di hari ini. Belum lagi isu perubahan iklim yang semakin mendesak, namun justru tidak menjadi agenda utama dalam forum-forum global yang mulai kehilangan arah.
Jikalau kita mau melihat situasi ini melalui lensa filosofis, kita bisa menganalogikannya dengan mitos Yunani tentang Kotak Pandora. Dalam kisah tersebut, ketika kotak dibuka, semua bentuk malapetaka, baik itu penyakit, kekacauan, keserakahan, peperangan, terlepas ke dunia. All hell breaks lose. Total pandemonium. Pandemi penyakit, khususnya, membuka tabir dunia global yang tampaknya terhubung dan maju, tetapi sejatinya menyimpan ketidakseimbangan, egoisme, dan kerentanan sistemik. Tapi, kisah Pandora tidak berakhir di situ. Di dasar kotak, masih tersisa satu hal: Elpis, atau harapan.
Harapan yang bukan hanya sekadar angan-angan pasif, tapi juga suatu bentuk kepercayaan bahwa dari reruntuhan sistem yang rusak, masih adan kemungkinan untuk sesuatu yang jauh lebih baik dan lebih kokoh dibangun kembali sebagai sebuah tatanan yang lebih adil dan manusiawi. Harapan, sesuatu yang tersisa dan masih menjadi ruang kosong yang memberi kita, umat manusia, sebuah peluang untuk berpikir ulang, menyusun ulang prioritas, dan merefleksikan ulang arah masa depan global.
Harapan, yang saat ini perlahan tapi pasti, bisa kita lihat dalam berbagai bentuk. Dalam rupa kebangkitan solidaritas masyarakat sipil lintas negara, kolaborasi ilmiah yang terbuka, semangat regenerasi di kalangan anak muda, serta munculnya tuntutan atas transparansi dan keadilan global. Mungkin negara-negara besar kerap dan masih tetap berkonflik, namun gerakan-gerakan dari bawah ini menunjukkan adanya daya resistensi terhadap narasi-narasi destruktif yang membelah dunia.
Harapan, inilah yang nantinya menjadi landasan untuk membayangkan kembali bentuk multilateralisme baru, yang tidak lagi elitis dan transaksional, tetapi berbasis pada inklusivitas, keadilan distribusi, dan keberlanjutan. Multilateralisme pasca-pandemi seharusnya tidak dibangun berdasarkan kepentingan kekuatan besar semata, melainkan pada komitmen bersama untuk mengatasi krisis global yang sifatnya lintas batas dan lintas generasi.
Ngomong sih mudah. Menulis, ah tentunya tidak sesusah impelementasi riilnya. Ya, kita harus akui, dunia memang sedang dalam masa transisi yang tidak mudah. Semua serba pelik dan susah. Perpecahan geopolitik, krisis legitimasi institusi global, dan tekanan domestik yang meningkat menciptakan kondisi seperti yang dituliskan sebelumnya. All hell breaks loose, segala sesuatunya tampak kacau dan tak terkendali.
Bisakah kita keluar dari kemelut gelap tersebut? Bisa, karena harapan itu sendiri tidak pernah benar-benar hilang, selama umat manusia masih mengenal pemberdayaan akal sehat dan penegakan keadilan. Harapan itu tetap diam di dasar kotak, menunggu untuk diangkat kembali sebagai prinsip pemulihan moral dan politik global.
Tantangan kita hari ini bukan sekadar menyelesaikan krisis satu per satu, tetapi bagaimana membangun struktur yang mampu mencegah krisis serupa di masa depan. Harapan, tetap menjadi energi penggerak untuk membangun kembali dunia dengan prinsip-prinsip baru solidaritas antarbangsa, tanggung jawab kolektif, dan keberanian untuk mendobrak sistem lama yang gagal memenuhi janji kesejahteraan global.
Saya sendiri yang terlanjur skeptis dengan keadaan saja masih yakin bahwa dunia pasca-pandemi bukanlah akhir dari globalisasi. Saya yakin inilah bentuk undangan semesta bagi kita semua untuk mendefinisikan ulang seperti apa globalisasi yang seharusnya, lebih dari sekadar konektivitas ekonomi, tetapi juga konektivitas moral, ekologis, dan kemanusiaan. Ya, semoga harapan yang ada di dasar kotak Pandora itu bukan hanya membuat kita berani untuk melihatnya. Suatu hari, kita harus mengambil dan menggenggamnya. Berjanji kepada masing-masing diri kita agar api harapan itu akan selalu ada dan kelak masih bisa diwariskan untuk masa depan yang dapat dibangun kembali.

A lifelong learner, Penulis, Dosen, Investrader,
0 Pengikut

Unboxing The Pandora, Wajah Dunia Pasca Pandemi
11 jam lalu
Apocryphal Stories, Romantisasi dan Kompromi Sejarah
Rabu, 27 November 2024 20:05 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler